Tampilkan postingan dengan label Biografi Pahlawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biografi Pahlawan. Tampilkan semua postingan

2023/07/29

Biografi Nyi Ageng Serang || Pahlawan Nasional

Nyi Ageng Serang
Biografi Singkat || Nyi Ageng Serang, juga dikenal sebagai Raden Ayu Serang, adalah seorang pahlawan nasional wanita kelahiran tahun 1752 di Desa Serang, Jawa Tengah. Ayahnya, Pangeran Ronggo seda Jajar, yang dikenal dengan julukan Panembahan Senopati Notoprojo, merupakan keturunan Sunan Kalijaga dan memerintah wilayah Serang. Setelah ayahnya meninggal, Nyi Ageng Serang menggantikannya dalam kedudukan tersebut. Nyi Ageng Serang menikah dua kali. Yang pertama dengan Hamengku Buwono II dan yang kedua dengan Pangeran Serang I. Dari pernikahannya yang pertama, ia memiliki seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo. Sementara itu, dari pernikahannya yang kedua, Nyai Ageng Serang memiliki seorang putri yang menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Pangeran Mangkudiningrat I.

Sebagai seorang wanita dengan latar belakang keturunan bangsawan, Nyi Ageng Serang memiliki peran yang penting dalam perang melawan penjajah Belanda. Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang berusia 73 tahun namun tetap bersemangat untuk berperang. Ia memimpin pasukan dengan tandu dan juga berperan sebagai penasihat perang. Perjuangannya melibatkan beberapa wilayah di Jawa Tengah, termasuk Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.

Meskipun merupakan seorang wanita, Nyi Ageng Serang tidak hanya terlibat dalam medan perang, tetapi juga mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama para prajurit pria. Keyakinannya adalah bahwa selama penjajahan masih ada, ia harus siap untuk melawan penjajah dan membela tanah airnya. Salah satu strategi perang yang terkenal dari Nyi Ageng Serang adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.

Nyi Ageng Serang merupakan sosok pahlawan nasional yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, sayangnya, namanya tidak sepopuler dengan beberapa pahlawan nasional lainnya seperti R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Meskipun begitu, warga Kulon Progo menghormatinya dengan mendirikan sebuah monumen di tengah kota Wates yang berupa patung Nyi Ageng Serang naik kuda sambil membawa tombak.

Kehidupan Nyi Ageng Serang berakhir pada tahun 1828 ketika ia meninggal di Yogyakarta. Tempat pemakamannya berada di Kalibawang, Kulon Progo. Terdapat juga beberapa pandangan yang percaya bahwa makam Nyi Ageng Serang berada di wilayah Grobogan, yang kini menjadi lokasi Waduk Kedung Ombo. Untuk mengenangnya, sebuah makam terapung dibangun di atas waduk tersebut.

Perjuangan dan dedikasi Nyi Ageng Serang sebagai seorang pahlawan nasional wanita harus selalu diingat dan dihargai. Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler pahlawan lainnya, ia telah memberikan kontribusi besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Pahlawan ini menunjukkan bahwa keberanian dan semangat tidak terbatas pada gender, dan perjuangannya harus menjadi inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya untuk mencintai dan mempertahankan kemerdekaan negara ini.

2016/05/22

Biografi Dr. Soetomo - Pendiri Boedi Oetomo

Biografi Dr. Soetomo | Soetomo terlahir dengan nama asli Soebroto, pada tanggal 30 Juli 1888 di desa Ngepeh, Jawa Timur, Hindia Belanda. Dr. Soetomo bersekolah di School tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) yakni sebuah sekolah pendidikan dokter Hindia. Semasa sekolah Soetomo suka berdiskusi dengan teman-temannya di sekolah.

Dalam kunjungan dr. Wahidin Sudirohusodo ke STOVIA, beliau sempat memberikan  pidato yang berfokus pada peningkatan minat para pemuda untuk meningkatkan serta memajukan dunia pendidikan sebagai salah satu cara untuk membebaskan pemikiran bangsa dari belenggu penjajahan. Salah satu cara yang diusulkan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo adalah dengan membentuk sebuah Studie Fon (Dana Untuk Beasiswa). Hal inilah yang menjadi salah satu pemacu Dr. Soetomo untuk mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo adalah organisasi modern pertama yang ada di Indonesia. Tirto Koesumo terpilih menjadi ketua Boedi Oetomo yang pertama berdasarkan hasil kongres pertama Boedi Oetomo yang dilaksanakan pada 3-5 Oktober 1908. Selain Soetomo, di Budi Utomo juga bergabung Suewardi Soerjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain yang turut membantu Goenawan dan Soeradji.

Biografi Dr. Sutomo | Tujuan utama dalam pembentukkan Boedi Oetomo adalah untuk memajukan bangsa yang harmonis dengan cara memajukan dunia pendidikan, pertanian, perdagangan, industri, peternakan, dan teknik, kebudayaan, dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai harkat dan martabat sebagai bangsa yang dihormati.

Tahun 1919, Dr. Soetomo menamatkan pendidikannya di STOVIA dan mendapatkan tugas di Semarang. Penempatan kerja di Semarang hanya untuk waktu yang tidak terlalu lama sebab Soetomo lalu dipindahkan ke Tuban, selanjutnya dipindahkan ke Lubuk akam (Sumatera Utara) dan terakhir dipindahkan ke Malang. Tugas Dr. Soetomo di Malang adalah untuk membasmi wabah penyakit pes yang sedang melanda daerah Malang. Pemindahan Soetomo yang cukup intensif memberi manfaat tersendiri yakni banyaknya pengalaman yang diperolehnya dari berbagai daerah. Sutomo juga mengetahui secara langsung penderitaan rakyat dan dapat berbuat langsung membantu meringankan penderitaan rakyat. Dr. Sutomo banyak mengobati pasiennya tanpa mengharapkan biaya sepeserpun. Terdapat juga pasien yang dibebaskan sama sekali dari biaya.

Tahun 1919, Sutomo berkesempatan untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Di sela-sela kesibukannya dalam menimba ilmu, Sutomo selalu mencari kesempatan dalam mempelajari politik. Di negera Belanda, Sutomo berkesempatan bergabung dengan Perhimpunan Indonesia. Sekembalinya ke tanah air, Sutomo melihat banyaknya kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Budi Utomo. Sutomo lalu menyarankan agar Budi Utomo dagar berubah haluan keranah politik sebab di Indonesia sudah banyak berdiri partai politik serta keanggotaan Budi Utomo dibuat terbuka untuk semua kalangan masyarakat, tak hanya bagi kalangan bangsawan atau priyayi.

Tahun 1924, Sutomo mendirikan sebuah wadah bernama Indonesische Studie Club (ISC).  ISC sendiri dalah sebuah wadah yang akan menaungi kaum pelajar. ISC suskes mendirikan asrama pelajar, sekolah khusus menenun, bank pengkreditan, serta koperasi dan lain-lain.Tahun 1931 ISC berubah nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah kepemimpinan Sutomo, PBI mengali perkembangan yang cukup pesat. Tekanan yang diberikan pemerintahan Hindia Belanda memaksa PBI dan Budi Utomo disatukan menjadi Perindra (Partaai Indonesia Raya) yang bertujuan untuk Indonesia Raya.

Dokter Soetomo juga berperan aktif di bidang jurnalistik (kewartawanan) dan sempat memimpin beberapa surat kabar. Kesibukan serta perjuangannya dalam merebut kemerdekaan membuat kesehannya melemah. Soetomo meninggal dunia di Surabaya pada usia 49 tahun yakni pada 30 Mei 1938. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 657/1961, Sutomo diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional untuk menghormati jasa Dr. Sutomo.
http://biografi-singkat.blogspot.com
Dr. Soetomo

2016/05/17

Biografi Ki Hajar Dewantara - Bapak Pendidikan Nasional

Statue of Ki Hadjar Dewantara in front of Sekolah Tamansiswa
Biografi Ki Hajar Dewantara | Terlahir sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat | Dalam Ejaan Yang Disempurnakan Suwardi Suryaningrat | Nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berubah menjadi Ki Hadjar Dewantara sejak 1922 | ditulis Ki Hajar Dewantara berdasarkan ejaan yang disempurnakan, beberapa kalangan menuliskan nama beliau berdasarkan bunyi penyebutannya dalam bahasa Jawa yakni Ki Hajar Dewantoro. Lahir 2 Mei 1889, di Yogyakarta, Hindia Belanda, Ki Hajar Dewantara dikenang sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Jawa pada masa Kolonial Belanda. Hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional setiap tahunnya yang diperingati oleh segenap Bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara tutup usia pada umur 69 tahun di Yogyakarta, tepatnya pada 26 April 1959. Nama Ki Hajar Dewantara selanjutnya sering disebut "Soewardi" atau disingkat sebagai "KHD" selain menjadi pelopor pendidikan bagi masyarakat pribumi Jawa, Ki Hajar Dewantara juga adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi. Ki Hajar Dewantara adalah pioner dari pendirian Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memiliki tujuan luhur memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata agar memperoleh hak pendidikan seperti para kaum priyayi maupun kalangan Belanda.

Pada 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke 2 oleh Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, sebagai bentuk penghargaan negara terhadap dedikasi Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan.


Biografi Ki Hajar Dewantara | Masa Muda dan Awal Karier
Ki Hajar Dewantara terlahir dari keluarga berlatar belakang bangsaan (kaum priyayi) yakni dari keluarga kadipaten Pakulaman. Ki Hajar Dewantara merupakan putra dari GPH Soerjaningrat, dan merupakan cucu dari Pakualam III. Dengan latar belakang keluarga yang merupakan bangsawan atau priyayi, Ki Hajar Dewantara berhak mengenyam pendidikan di sekolah yang dikhususkan untuk kaum bangsawan.

Ki Hajar Dewantara memulai pendidikannya dasarnya di ELS yakni sekolah dasar bagi orang Eropa atau Belanda. Menamatkan pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara lalu melanjutkan pendidikannya ke STOVIA yakni sekolah kedokteran yang dimiliki oleh Bumiputera, namun tidak menamatkan pendidikannya karena mengalami sakit. Ki Hajar Dewantara kemudian mulai bekerja sebagai wartawan dan menulis untuk beberapa surat kabar diantaranya De Express, Kaoem Moeda, Midden Java, Oetoesan Hindia, Poesara, Sediotomo, dan tjahaja Timoer. Selama karirnya di media cetak, Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai penulis yang berbakat serta berprestasi. Gaya menulis Ki Hajar Dewantara sangat populer, komunikatif serta dibumbui dengan jiwa merdeka dalam tulisannya, selain itu tulisannya juga mengandung semangat anti kolonialisme sehingga sangat disukai oleh pembacanya.

Aktivitas Pergerakan

Selain dikenal sebagai penulis yang handal, Ki Hajar Dewantara turut terlibat aktif dalam organisasi sosial dan politik. Tercatat sejak berdirinya Boedi Oetomo yakni 1908, Ki Hajar Dewantara aktif dalam mensosialisasikan dan mengkapanyekan pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan Kongres pertama Boedi Oetomo juga terselenggara berkat Ki Hajar Dewantara yang mengorganisasinya secara langsung.

Ki Hajar Dewantara yang pada usia mudanya juga ikut dalam organisasi Insulinde, sebuah organisasi multi-etnis yang didominasi oleh aktivis indo. Para aktivis indo di organisasi ini menghendaki sebuah pemerintahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia di Hindia belanda. Salah satu tokoh yang cukup menonjol di organisasi ini ialah Ernest Douwes Dekker. Douwes Dekker lalu mengajak Ki Hajar Dewantara untuk sama-sama mendirikan sebuah partai yakni Indische Partij.

Als ik een Nederlander was | Sekiranya Aku Orang Belanda

Tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda mencoba memungut uang semua warganya termasuk dari kalangan pribumi di Hindia Belanda. Uang tersebut dimaksudkan untuk merayakan kemerdekaan Belanda yang ke seratus dari penjajahan Perancis. Rencana pemerintah Hindia Belanda tersebut mendapat reaksi keras dari kalangan nasionalis, termasuk diantaranya Ki Hajar Dewantara. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (yang diartikan : Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu) mendapat respon yang cukup baik dari pembacanya. Namun tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling berkesan adaah "Als ik een Nederlander was" (Sekiranya Aku Orang Belanda), yang dicetak oleh surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Tulisan tersebut terbukti sangat menampar para pejabat pemerintahan Hindia Belanda.

Sejumlah pejabat pemerintahan Hindia Belanda meragukan keaslian tulisan tersebut ditulis oleh Ki Hajar Dewantara, sebab terdapat perbedaan gaya bahasa dari tulisan-tulisannya yang sebelumnya. Jaikalaupun benar tulisan tersebut ditulis oleh Ki Hajar Dewantara, mereka berasumsi bahwa Douwes Dekker adalah orang yang terlibat langsung mempengaruhi Ki Hajar Dewantara untuk menulis tulisan tersebut.

Tulisan tersebut kemudian dinilai pemerintah Hindia Belanda sebagai behan yang subversif, sensitif, serta berpotensi memecah belah yang dikhawatirkan akan menimbulkan gelombang pemberontakan dan akan menggagu tatanan pemerintahan Hindia Belanda. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda atas perintah dari Gubernur Jendral Idenburg lalu menangkap Ki Hajar Dewantara dan dijatuhi hukuman pengasingan ke pulau Bangka. Pengasingan tersebut mendapat protes dari rekannya, yakni Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akibat pemrotesan tersebut, pada tahun1913, mereka bertiga yakni Douwes Dekke, Tjicto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara, diasingkan ke Belanda. Ketiga aktifis pro-kemerdekaan tersebut lebih dikenal di Indonesia sebagai tiga serangkai. Saat itu usia Ki Hajar Dewantara baru menginjak usia 24 tahun.

Ki Hajar Dewantara di Masa Pengasingan

Selama penagasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara mengikuti organisasi pelajar Indonesia, Indische Vereeniging (Hindia association) atau dalam bahasa indonesianya Perhimpunan Hindia. Di organisasi inilah awal mula Ki Hajar Dewantara bercita-cita ingin memajukan orang Indonesia terutama kaum pribumi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut Ki Hajar Dewantara lalu belajar mengenai ilmu pendidikan samapai memperoleh ijazah Europeesche Akte. Ijazah tersebut merupakan ijazah di bidang pendidikan yang sangat bergenggsi yang kelak di kemudian hari menjadi salah satu penyokong Ki Hajar Dewantara dalam mewujudkan cita-citanya. Semasa studi, Ki Hajar Dewantara terinspirasi dari ide-ide sejumlah tokoh pendidikan barat, Montessori dan Froebel, juga dari aktivis pergerakan pendidikan India, Santiniketan dan Keluarga Tagore. Hal mendasar tersebutlah yang mempengaruhi Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan sistem kurikulumnya.

Taman Siswa

Pada bulan September 1919, Ki Hajar Dewantara kembali ke rumahnya di Jawa, Hindia Belanda. Sepulangnya dari Belanda, Ki Hajar Dewantara bersama saudaranya bekerja sama mendirikan sekolah di daerah asalnya. Dengan latar belakang pendidikanserta pengalamannya mengajar cukup membantu dalam mengembangkan konsep mengajar di sekolah. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara lalu mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Ampel atau perguruan tinggi nasional.

Selama masa penjajahan Belanda, pendidikan tak dapat dinikmati oleh semua kalangan bangsa Indonesia. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh segelintir orang, diantaranya, anak-anak pejabat pemerintah Hindia Belanda dan kaum bangsawan Jawa atau kaum priyayi. Pendidikan di masa kolonial Belanda tak dapat dinikmati oleh kaum pribumi. Oleh sebab itu di Yogyakarta pada bulan Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah yang diberi nama Taman Siswa. Sebuah terobosan pendidikan yang berusaha untuk menyediakan akses pendidikan bagi kaum pribumi.

Berdasarkan hitungan penanggalan Jawa, di tahun 1922, Ki Hajar Dewantara telah menginjak usia 40 tahun. Ki Hajar Dewantara diminta untuk mengganti namanya agar terhindar dari kemalangan yang mungkin akan menimpa dirinya. Kemudian nama yang dipilih adalah Ki Hajar Dewantara untuk digunakan sebagai nama barunya. Ia juga secara tegas menghilangkan gelar kebangsawanannya. Ki Hajar Dewantara tak lagi memakai Raden Mas di depan namanya sebagai bentuk dukungan akan adanya kesetaraan sosial, serta mengabaikan status sosial yang bersifat kaku dalam masyarakat Jawa. Selain itu, hal ini juga akan memudahkannya dalam berinterksi dengan masyarakat sekitarnya baik secara fisik maupun jiwa.

Tut Wuri Handayani

Semboyan Ki Hajar Dewantara dalam menggabarkan cita-cita pendidikannya dituangkan dalam bahasa Jawa yang berbunyi  "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Yang terjemahannya adalah  "(bagi mereka) di depan (harus) memberi contoh, (bagi mereka) di tengah (harus) membangkitkan semangat, dan (bagi mereka) di belakang (harus) memberikan dorongan". Semboyan ini merupakan motto Taman Siswa

Saat ini, bagian dari semboyan tersebut, Tut Wuri Handayani, digunakan sebagai motto oleh Departemen Pendidikan di Indonesia. Hal tersebut menggambarkan, idealnya seorang guru setelah mentransmisi pengetahuannya ke siswa didiknya, guru akan berdiri di belakang siswanya dan memberi mereka dorongan dalam mencaripengetahuan.

Ki Hajar Dewantara sebagai Pejabat Pemerintah

Selama masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara aktif terlibat dalam kegiatan politik, kegiatannya di bidang pendidikan juga terus berlanjut. Tahun1943, saat pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau yang lebih dikenal sebagai Putera, Ki Hajar Dewantara ditunjuk sebagai salah satu pemimpinnya bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Dalam kabinet pertama Indonesia yang dibentuk 190, Ki Hajar Dewantara ditunjuk oleh Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Pengajaran (sekarang jabatan tersebut lebih diganti menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Tahun 1957 Ki Hajar Dewantara memperoleh gelar doktor kehormatan (Dr.H.C. atau doctor honoris causa) dari Universitas Gadjah Mada.

Ki Hajar Dewantara meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 dan dimakamkan di pemakaman Taman Wijaya Brata.

Penghargaan Terhadap Jasa Ki Hajar Dewantara

Atas dedikasi yang dilakukan Ki Hajar Dewantara sebagai pioner pendidikan bagi semua kalangan, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 305 Tahun 1959, Tanggal 28 November 1959 mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pahlawan nasional, dan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Taman siswa juga mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta. Museum ini dibangun dengan tujuan untuk memperingati, melestarika, serta mempromosikan pemikiran, nilai-nilai dan cita-cita Ki Hajar Dewantara selaku pendiri Taman Siswa. Di museum tersebut terdapat benda dan karyaKi Hajar Dewantara. Koleksi Museum meliputi karya, makalah, konsep, dokumen penting dan surat dari korespondensi semasa bekerja sebagai wartawan, pendidik, budayawan dan selaku seniman. Berbagai dokumen ini telah difilemkan dalam mikrofilm dana beberapa dilaminasi sebagai dokumen Arsip Nasional Negara.

Peninggaln Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara mengintruksikan agar pendidikan sebisa mungkin tersedia bagi semua kalangan, tanpa memandang jenis kelamin, ras, etnis, budaya, agama, status sosial dan status ekonomi serta banyak lagi. Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa pendidikan harus berlandaskan pada nilai kemanusian, kebebasan dan hak untuk memperoleh pendidikan.

Ulang tahun Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Semboyan Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani, digunakan sebagai semboyan kementrian pendidikan. Kapal pelatihan angkatan laut Indonesia juga menggunakan nama KRI Ki Hajar Dewantara. Foto Ki Hajar Dewantara juga pernah diabadikan dalam uang pecahan Rp. 20.000 keluaran tahun 1998.

2015/11/22

Biografi Singkat Soekarno

Biografi Presiden Indonesia ke-1

Profil Umum Soekarno

Nama Lahir : Koesno Sosrodihardjo
Nama Lain : Soekarno, Bung Karno, Pak Karno, Sukarno, Ir. Soekarno, Presiden Soekarno
Ayah : Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu :  Ida Ayu Nyoman Rai
Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, Jawa Timur, Hindia Belanda | Kamis, 6 Juni 1901
Zodiac : Gemini
Meninggal : Jakarta, Indonesia | 21 Juni 1970 (usia 69)
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Partai Politik : Partai Nasional Indonesia
Masa jabatan : 18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 (21 tahun)
Profesi : Insinyur | Politikus Ida Ayu Nyoman Rai
http://biografi-singkat.blogspot.com/2015/11/biografi-soekarno-singkat.html
Ir. Soekarno

Istri-Istri Soekarno dan Anak-Anak Soekarno:

  • Oetari (1920–1923) Anak: -
  • Inggit Garnasih (1923–1943) Anak: -
  • Fatmawati (1943–1956) Anak: Guntur Soekarnoputra (1944)  | Megawati Soekarnoputri (1947) Rachmawati Soekarnoputri (1950) Sukmawati Soekarnoputri (1952) Guruh Soekarnoputra (1953)
  • Hartini (1952–1970) Anak: Taufan Soekarnoputra (1951-1981) Bayu Soekarnoputra (1958)
  • Kartini Manoppo (1959–1968) Anak: Totok Suryawan Soekarnoputra (1967)
  • Ratna Sari Dewi (1962–1970) Anak: Kartika Sari Dewi Soekarno (1967)
  • Haryati (1963–1966) Anak: Ayu Gembirowati
  • Yurike Sanger (1964–1968)
  • Heldy Djafar (1966–1969)

Riwayat Pendidikan Soekarno

  • Eerste Inlandse School, Mojokerto - Pendidikan setara sekolah dasar
  • Europeesche Lagere School (ELS), Mojokerto - Pendidikan setara sekolah dasar (1911-1915)
  • Hogere Burger School  (HBS), Surabaya (1915-1921)
  • 1920 - Technische Hoge School, Bandung (1921, berhenti kemudian mendaftar ulang 1922 dan menyelesaikan pendidikannya di tahun 1926)

Karya-Karya Soekarno

Karya Soekarno Sebagai Insinyur

http://biografi-singkat.blogspot.com/2015/11/biografi-soekarno-singkat.html
Gedung Conefo atau sekarang lebih dikenal sebagai Gedung MPR
  • Masjid Istiqlal (1951)
  • Monumen Nasional (1960)
  • Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957
  • Gedung Conefo
  • Gedung SarinahHotel Indonesia (1962)
  • Monumen Pembebasan Irian Barat
  • Wisma Nusantara
  • Tugu Selamat Datang
  • Patung Dirgantara
  • Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji dan Soekarno tergerak memberikan sumbangan gagasan arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi untuk membuat bangunan tempat  melakukan sa’i dibuat menjadi berjalur dua yang terdapat dalam bangunan berlantai dua. Pemerintah Arab Saudi meresponnya dengan melakukan renovasi besar-besaran terhadap Masjidil Haram di tahun 1966, termasuk membuat tempat melasksanakan sa'i menjadi lantai bertingkat  dan membuat jalur untuk melaksanakan tawaf menjadi dua jalur

Buku Karya Bung Karno

http://biografi-singkat.blogspot.com/2015/11/biografi-soekarno-singkat.html
Sampul Buku Karya Ir. Soekarno
  1. 1933 | Sukarno | Bung Karno Tentang Marhaen Dan Proletar
  2. 1933 | Sukarno | Mencapai Indonesia Merdeka
  3. 1951 | Sukarno | Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial
  4. 1951 | Sukarno | Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
  5. 1957 | Sukarno | Indonesia Merdeka
  6. 1959 | Sukarno | Di Bawah Bendera Revolusi : Jilid 1
  7. 1960 | Sukarno | Di Bawah Bendera Revolusi : Jilid 2
  8. 1960 | Sukarno | Amanat Penegasan Presiden Soekarno Didepan Sidang Istimewa Depernas Tanggal 9 Djanuari 1960
  9. 1962 | Sukarno | Kepada Bangsaku : Karya-karya Bung Karno Pada Tahun 1926-1930-1933-1947-1957
  10. 1962 | Sukarno | Pantja Sila Sebagai Dasar Negara
  11. 1964 | Sukarno | Tjamkan Pantja Sila ! : Pantja Sila Dasar Falsafah Negara
  12. 1964 | Sukarno | Re-So-Pim: Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional
  13. 1964 | Sukarno | Komando Presiden/Pemimpin Besar Revolusi: Bersiap-sedialah Menerima Tugas untuk Menjelamatkan R.I. dan untuk Mengganjang "Malaysia"!
  14. 1964 | Sukarno | Tahun "Vivere Pericoloso"
  15. 1965 | Sukarno, Cindy Adams | Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
  16. 1965 | Sukarno | Wedjangan Revolusi
  17. 1965 | Sukarno | Tjapailah Bintang-Bintang di Langit: Tahun Berdikari
  18. 1965 | Sukarno | Pantja Azimat Revolusi
  19. 1966 | Sukarno | Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah
  20. 1970 | Sukarno | Nationalism, Islam and Marxism
  21. 1984 | Sukarno | Pancasila sebagai Dasar Negara
  22. 1984 | Sukarno | Ilmu dan Perjuangan
  23. 1985 | Sukarno | Pancasila dan Perdamaian Dunia
  24. 1986 | Sukarno | Amanat Proklamasi Jilid IV: 1961-1966
  25. 1987 | Sukarno | Bung Karno Dan Pemuda: Kumpulan Pidato Bung Karno Di Hadapan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Dan Sarjana, 1952-1960
  26. 1988 | Sukarno | Warisilah api Sumpah Pemuda: kumpulan pidato Bung Karno di hadapan pemuda, 1961-1964
  27. 1988 | Sukarno | Kepada Bangsaku
  28. 1989 | Sukarno | Bung Karno dan ABRI: kumpulan pidato Bung Karno dihadapan ABRI, 1950-1966
  29. 1990 | Sukarno | Bung Karno dan Islam: kumpulan pidato tentang Islam, 1953-1966
  30. 1999 | Sukarno | Negara Nasional Dan Cita-Cita Islam: Kuliah Umum Presiden Soekarno
  31. 2000 | Sukarno | Bebaskan Irian Barat: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno Tentang Pembebasan Irian Barat, 17 Agustus 1961, 17 Agustus 1962
  32. 2001 | Sukarno | Bung Karno dan Tata Dunia baru
  33. 2001 | Sukarno | Bung Karno Menggali Pancasila: Kumpulan Pidato
  34. 2001 | Sukarno | Empat Pidato Penting Bung Karno
  35. 2001 | Sukarno | Bung Karno: Demokrasi Terpimpin Milik Rakyat Indonesia - Kumpulan Pidato
  36. 2001 | Sukarno | Bung Karno dan Ekonomi Berdikari: Kenangan 100 Tahun Bung Karno
  37. 2001 | Sukarno | Mutiara Kata Bung Karno
  38. 2001 | Sukarno | Bung Karno, Gerakan Massa dan Mahasiswa: Kenangan 100 Tahun Bung Karno
  39. 2001 | Sukarno | Bung Karno, Wacana Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno
  40. 2001 | Sukarno | Bung Karno dan Partai Politik: Kenangan 100 Tahun Bung Karno
  41. 2006 | Sukarno | Islam Sontoloyo: Pemikiran-Pemikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam

Film-Film terkait Soekarno

http://biografi-singkat.blogspot.com/2015/11/biografi-soekarno-singkat.html
Poster Film Soekarno
  • 1982 | The Year of Living Dangerously | Film Filipina | Soekarno diperankan oleh  actor Filipina, Mike Emperio
  • 1982 | Pengkhianatan G 30 S/PKI  | Soekarno diperankan oleh Sosiolog dan penulis Umar Kayam 
  • 1982 | Djakarta 66 | Sekuel kedua dari Pengkhianatan G 30 S/PKI | Soekarno diperankan oleh Sosiolog dan penulis Umar Kayam
  • 1997 | Blanco, The Colour of Love | versi terakhir serial televisi, Api Cinta Antonio Blanco | Aktor Indonesia Frans Tumbuan berperan sebagai  Sukarno
  • 2005 | Gie | Soultan Saladin, -Aktor Indonesia-  memerankan Sukarno
  • 2013 | 9 Reasons | Berkisah tentang Bung Karno dan Sembilan Istrinya| Sukarno diperankan oleh Aktor Indonesia, Tio Pakusadewo
  • 2013 | Soekarno: Indonesia Merdeka | Aktor Indonesia Ario Bayu memainkan peran sebagai Sukarno
  • 2013 | Bung di Ende | Aktor Indonesia Baim Wong memerankan | Kisah hidup Soekarno selama diasingkan di Ende, Flores
  • 2015 | Guru Bangsa: Tjokroaminoto | Dave Mahenra mengambarkan Sukarno | Film terkait biografi Oemar Said Tjokroaminoto, nasionalis yang juga selaku  mentor para pemimpin perjuangan (termasuk Sukarno) menuju kemerdekaan Republik Indonesia.

Biografi R.A. Kartini

Biografi R.A. Kartini
R.A. Kartini | Raden Ayu Kartini ialah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia bersuku Jawa. Biasa juga dikenal sebagai Raden Adjeng Kartini. Lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda. Kartini dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi bagi wanita dan penegakkan hak asasi bagi wanita (emansipasi) di Indonesia. R.A. Kartini wafat pada usianya yg ke 25 yakni pada tanggal 17 September 1904 di Rembang, JawaTengah, Hindia Belanda.



Biografi R.A. Kartini

Silsilah Keluarga Kartini


R.A. Kartini terlahir dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah yang merupakan kalangan keluarga bangsawan Jawa atau lebih dikenal dengan istilah kaum priyayi di negeri Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningnrat adalah seorang Patih yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara pasca kelahiran Kartini. Silsilah Kartini dari pihak Ayahnya dapat ditelusuri hingga Hamengkubuwana VI. Geris Keturunan Bupati Ario Sosroningrat bahkan dapat ditelusuri hingga kerajaan Majapahit. Nenek moyang Ario Sosroningrat yakni Pangeran Dangirin pernah menjabat sebagai Bupati Surabaya di Abad ke delapanbelas dan turunannya banyak mengisi kedudukan penting di Pangreh Praja.

Ayah Kartini adalah seorang wedana di daerah Mayong. Peraturan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorang bangsawan maka Ario Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturan langsung Raja Madura karena istri pertamanya, M.A. Ngarsih yang merupakan ibu kandung kartini bukanlah bangsawan. Setelah perkawinannya dengan Raden Adjeng Woerjan, Ario Sosroningrat kemudian diangkat menjadi bupati Jepara menggatikan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Ibunda Kartini, M.A. Ngarsih adalah istri pertama dari Raden Mas Adipati Ario tetapi bukanlah istri utama. M.A. Ngarsih adalah anak dari pasangan Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Kyai Haji Madirono adalah seorang petinggi agama di Telukawur, Jepara.

R.A. Kartini adalah anak ke lima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dari silsilah saudara kandung Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati saat usianya 25 tahun dan terkenal sebagai bupati pribumi pertama yang menyekolahkan anak-anaknya dengan didikan barat. Sosrokartono, Kakak Kartini, adalah seorang brillian dalam bidang pelajaran terutama dalam bidang bahasa. Kartini mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) dan salah satu pelajaran yang didalami Kartini adalah bahasa Belanda. Kartini menkmati pendidikan di ELS hingga usianya menginjak 12 tahun. Setelah berusia 12 tahun, Kartini tak lagi melanjutkan pendidikannya di ELS, sebab kartini akan melalui masa pingitannya. Selama masa pingitan Kartini hanya di bolehkan berada di rumah.

R.A. Kartini yang mulai bisa berbahasa Belanda mulai mempelajari bahasa Belanda secara autodidak dengan banyak membaca dan mulai menulis surat korespondensi kepada teman-temannya di belanda. Salah satu yang menjadi korespondensi Kartini adalah Rosa Abendanon yang sangat mendukungnya. Kartini tertarik dengan cara berpikir wanita-wanita eropa. Kartini tertarik memajukan derajat wanita pribumi, karena menurut Kartini wanita pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Surat kabar Semarang De Locometief hasil asuhan Pieter Brooshooft adalah yang menjadi faforit Kartini. Selain itu Kartini juga sering membaca majalah langganannya yang biasa diantarkan oleh pemilik toko buku kepada pelanggan ( Ieestrommel). Di antara majalah langganannya terdapat majalah wanita De Hollandsche Leile, serta terdapat pula majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini lalu mulai mengirimkan tulisannya ke De Hollandsche Leile dan tentunya dimuat oleh majalah tersebut.

Kartini tak hanya terfokus pada hal-hal yang menyangkut emansipasi wanita saja, perkara umum juga menjadi perhatian yang cukup menarik minat Kartini. Kartini memiliki harapan agar pergerakan kaum wanita di Indonesia lebih bebas, memiliki otonomi serta memperoleh hak persamaan hukum sebagai bagian pergerakan yang lebih luas.

Gambar RA Kartini dan suaminya
Kartini menikahi seorang Bupati Rembang yang merupakan pilihan orangtuanya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah terlebih dahulu menikahi tiga wanita. Kartini menikah tanggal 12 November 1903. Suami Kartini paham akan keinginannya dan olehnya Kartini diberi kebebasan dan diberi dukungan untuk membangun sekolah wanita di sebelah timur gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, bangunan tersebut kini berubah fungsi menjadi Gedung Pramuka.

Kartini melahirkan anak tunggalnya pada 13 September 1904. Anak tunggalnya diberi nama Soesalit Djojohadiningrat. Empat hari kemudian, yakni 17 September 1904, Kartini meninggal di usianya yang terbilang belia yakni 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Terinspirasi dari Kartini, keluarga Van Deventer yang merupakan tokoh Politik Etik mendirikan Yayasan R.A. Kartini dan mendirikan sekolah khusus wanita yang diberi nama "Sekolah Kartini " di Semarang pada tahun 1912. Selanjutnya dibangun Sekolah Kartini di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.

Surat-surat Kartini

Setelah Kartini meninggal Mr J. H. Abendanon yang merupakan Mentri Kebudayaan, Keagamaan, dan Industri pada era Hindia Belanda, mengumpulkan dan menerbitkan buku yang berisikan surat-surat yang dikirmkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang dalam bahasa Inggris berarti Out of Dark Comes Light dan jika diartikan secara harfiah ke bahasa Indonesia berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" dan diterbitkan tahun 1911. Buku yang berisikan surat-surat Kartini tersebut dicetak sebanyak lima edisi, dan terdapat surat tambahan dari Kartini pada edisi terakhir. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Inggris oleh Agnes L. Symmers fan diterbitkan dengan judul Letters of a Javanese Princess (Surat dari Seorang Putri Jawa).

Terbitnya buku berisi surat-surat Kartini yang merupakan seorang perempuan pribumi Jawa cukup menarik perhatian kalangan masyarakat Belanda terhadap kehidupan wanita pribumi. Isi pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya mulai mengubah paradigma masyarakat Belanda terkait masyarakat pribumi Jawa.

Di tahun 1922, buku yang berisi surat-surat Kartini diterbitkan ulang dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeah Pikiran yang diterjemahkan oleh Empat Saudara. Selanjutnya di tahun 1938, buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan oleh seorang sastrawan Pujangga Biru yakni Armijn Pane. Oleh Armijn Pane buku Habis Gelap Terbitlah Terang dibagi kedalam lima bab pembahasan untuk emudahkan perubahan paradigma selama berkorespondensi dengan teman-teman Kartini di Eropa. Buku versi Armijn Pane sempat dicetak ulang sebanyak sebelas kali. Surat-surat kartini juga sempat diterbitkan dalam terjamahan bahasa Jawa dan Bahasa Sunda.


Pemikiran Kartini

Kondisi Perempuan Indonesia di Mata RA Kartini

Dalam surat yang ditulis RA Kartini terdapat pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat di Hindia Belanda saat itu, terutama terkait  kondisi perempuan pribumi Jawa. Sebagian besar surat yang ditulis RA Kartini berisi keluhan dan gugatan kekecewaan terhadap budaya masyarakat Jawa yang dianggap Kartini sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan berpikir masyarakat perempuan Jawa. Menurut Kartini, seharusnya wanita memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu dan belajar. Kartini menuangkan gagasan serta cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-onderricht dan Zelf-ontwikkeling , Zelf-werkzaamheid dan Zelf- vertrouwen serta Solidariteit. Semua itu atas dasar Ketuhanan, Keindahan dan Kebijaksanaan (Religieusiteit, Schoonheid en Wijsheid), ditambah cinta tanah air (Nasionalisme) serta peri kemanusiaan (Humanitarianisme).

Surat yang dituliskan juga berisi harapan Kartini untuk mendapat bantuan dari luar negeri. Dalam surat perkenalan Kartini dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, RA Kartini mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seperti kaum muda muda di Eropa. Kartini juga mengungkapkan penderitaan perempuan pribumi Jawa yang dikarekanakan pembatan oleh adat, salah satunya adalah tak bebas untuk menikmati pendidikan di sekolah, harus mau dipingit, serta harus siap dinikahkan dan dipoligami oleh lelaki yang tak mereka kenal.

Pandangan kritis Kartini juga ditujukan terhadap agama Islam. Kartini mempertanyakan kenapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa memahami kandungannya. Kartini dalam pandangannya menyatakan bahwa dunia akan lebih damai jika agama tidak dijadikan alasan manusia untuk terpisah, berselisih, dan untuk menyakiti. RA Kartini juga mempertanyakan agama yang dijadikan alasan bagi kaum adam untuk berpoligami.

Kartini yang Vegetarian

Dalam surat Kartini yang ditujukan kepada Nyonya Abendanon dan suaminya tertanggal 27 Oktober 1902 saat Kartini berusia 23 tahun. Dalam surat tersebut terdapat kutipan bahwa Kartini mulai berhenti makan daging, bahkan jauh sebelum surat tersebut dikirimkan yang menunjukkan bahwa kartini adalah seorang vegetarian. "belum lama ini aku berpikir untuk melakukannya (menjadi vegetarian), saya bahkan hanya makan sayuran selama setahun ini, tapi aku belum cukup memiliki keberanian moral untuk melanjutkan. aku masih terlalu muda".

Kartini juga menekankan hubungan antara gaya hidup sebagai vegetarian dengan agama. Kartini dalam suratnya juga mengatakan, "Menjalani hidup sebagai seorang vegetarian adalah sebuah doa tanpa kata kepada Yang Maha Kuasa.

Riwayat Kartini

Dalam suratnya, Kartini juga mengungkapkan berbagai kendala yang menghalangi perempuan Jawa untuk menjadi lebih maju. Meski Kartini memiliki ayah yang menyekolahkannya hingga usia 12 tahun tapi pintu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih lanjut tetap tidak bisa. Kartini sangat menyangi ayahnya begitupula sebaliknya sebagaimana biasa Ia ungkapkan dalam surat-suratnya. Namun Ayahnya melarang Kartini untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda ataupun untuk masuk ke sekolah kedokteran di Betawi. Tetapi akhirnya Ayahnya mengizinkan Kartini untuk melanjutkan pendidikannya untuk menjeadi guru di Betawi

Foto R.A. Kartini kecil dengan orangtua dan saudara-saudaranya (tahun 1890an)
Keinginan RA Kartini untuk bersekolah terutama ke Eropa memang diungkapkan dalam surat yang ditulisnya. Beberapa sahabat penanya di Eropa sangat mendukung bahkan berupaya untuk mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Namun akhirnya para sahabat penanya hanya bisa kecewa karena di saat Kartini hampir mewujudkan keinginannya itu Ia malah membatalkannya. Niat Kartini yang awalnya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda akhirnya diubah ke Betawi setelah dinasehati oleh Ny. Abendanon yang berpendapat bahwa lebih baik untuk melanjutkan pendidikannya di Betawi bersama adiknya R.A. Rukmini.

Foro Kartini, Kardinah, Roekmini
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia 24 tahun, niat untuk melanjutkan pendidikannya menjadi guru pupus. Hal itu diungkapkan dalam surat yang dikirimkan Kartini kepada Ny. Abendanon karena Ia akan menikah. Padahal saat itu Belanda sudah memberikan izin kepada R.A. Kartini dan R.A. Rukmini untuk belajar di Betawi.

Menjelang pernikahannya dengan Adipati Ario, paradigma Kartini terkait budaya Jawa menjadi lebih toleran . Kartini beranggapan bahwa pernikahan akan memberikan keuntungan tersendiri untuk meraih apa yang Ia inginkan untuk pendidikan bagi kaum mengembangakan pendidikan kaum wanita pribumi di Jawa. Dalam salah satu surat yang dituliskan oleh Kartini, ia mengumkapkan bahwa hanya suaminyalah yang dapat membantunya dalam memuluskan ambisinya untuk membangun industri kreatif dan sekolah bagi kaum wanita pribumi, serta Kartini juga menuliskan keinginannya untuk menuliskan buku. Malangnya keinginan Kartini harus terhenti karena meninggal di usia cukup belia yakni di tahun 1904 pada usia 25 tahun.

Kontroversi Kartini

Beberapa kalangan meragukan akan kebenaran surat yang ditulis oleh Kartini, ada kecurigaan J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat yang ditulis oleh Kartini. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan sebab buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda saat itu menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon adalah salah satu yang berkepentingan dan mendukung terlaksananya politik etis. Hingga sekarang pun sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya.

Penetapan tanggal kelahiran RA Kartini sebagai salah satu hari nasional di Indonesia diperdebatkan beberapa kalangan. Menurut mereka sebaiknya Hari Kartini dirayakan bersamaan dengan perayaan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember. Hal ini bukan tanpa alasan sebab masih ada pahlawan wanita lain yang tak kalah hebat dengan RA Kartini sebut saja Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, serta masih banyak lagi pahlawan wanita lainnya. Selain itu wilayah perjuangan kartini terbilang hanya dilingkup Jepara serta Rembang saja, RA Kartini juga tak pernah secara langsung mengangkat senjata untuk menghadang penjajah. Sikap RA Kartini yang mau dipoligami juga bertentangan dengan kaum feminis yang menentang poligami sebagai salah satu bentuk emansipasi.

Pihak yang sepakat dengan perjuangan Kartini berpendapat jika kartini lyak mendapat perlakuan khusus. Ide dan gagasan pembaruan yang dimiliki Kartini dianggap sudah cukup diartikan sebagai bentuk perjuangan untuk bangsa Indonesia. Cara pikir Kartini dianggap sudah mewakili perjuangan Nasional.

Peringatan

Hari Kartini

Foto Tanda Tangan RA Kartini
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno menetapkan hari kelahiran RA Kartini sebagai Hari Kartini yang dirayakan sebagai Hari besar Nasional. Selain itu Kartini berdasarkan surat Peputusan Presiden tersebut Kartini ditetapkan sebagai Pahlwan Kemerdekaan Nasional.

Nama Kartini juga diabadikan sebagai nama jalan di Belanda. Diantaranya di Utrecht nama kartini diabadikan sebagai nama jalan yakni Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat. Di Venlo Belanda Selatan, nama jalannya adalah R.A. Kartinistraat yang berbentuk 'O' terletak di kawasan Hagerhof. Sementara di wilayah Amsterdam Zuidoost nama Kartini ditulis lengkap sebagai jalan Raden Adjeng Kartini. Dan yang terakhir di Haarlem, nama  jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir.

2014/11/24

Biografi Bung Hatta

Biografi DR. (HC) Drs. Mohammad Hatta | Sering juga disebut Drs. Mohammad Hatta atau lebih populer dengan nama Bung Hatta adalah wakil presiden pertama Indonesia yang dikemudian hari menjabat sebgai Pernda Mentri ke 3 Republik Indonesia Serikat. Mohammada Hatta terlahir dengan nama Mohammad Athar di Fort de Kock (masuk dalam wilayah Bukit sekarang), Hindia Belanda pada tangal 12 Agustus 1902. Mohammad Hatta juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang sama-sama berjuang dengan sejumlah pejuang Indonesia, termasuk Soekarno, Untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda. Mohammad Hatta juga merupakan seorang ekonom dan negarawan. Meskipun melakukan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dari jajahan Belanda, Hatta tercatat pernah bersekolah di Belanda. Di Belnda, Hatta bersekolah dari tahun 1921 - 1932. Sekembalinya dari Belanda, Hatta melanjutkan pendidikannya di sekolah sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda.

Mohammad Hatta paling sering diingat dengan nama Bung Hatta. Panggilan "bung", menurut sang maestro penulis Pramoedya Ananta Toer, adalah sapaan akrab yang berarti "kawan" sebgai alternatif dalam memanggil kerabat yang menunjukkan mereka berada pada kasta yang sama, sebagai bentuk perlawanan atas panggilan yang selama ini pada masyarakat. Masyarakat saat itu kerap menggunakan istilah "tuan", "mas", atau "bang".

Selain pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga pernah menjabat sebagai Perdana Mentri dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II, dan dalam Kabinet RIS. Perbedaan cara pandang antara Soekarno dengan dirinya membuat Hatta memilih mundur dari kursi Wakil Presiden pada tahun 1956. Muhammad Hata juga sering didentikkan dengan panggilan Bapak Koperasi Indonesia.

Untuk mengenang jasa Mohammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, nama belia diabadikan menjadi nama salah satu bandar udara internasional di Jakarta, yakni Bandar Udara Soekarno-Hatta. Nama Hatta juga diabdikan menjadi nama jalan di negara Belanda yakni Mohammad Hatta Straat yang berada di wiliyah perumahan Zuiderpolder, wilayah bagian Haarlem.

Bung Hatta menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo tepat pada pukul 18.56. Bung Hatta, pada Tahun 1986 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Kehidupan Awal Bung Hatta

Latar Belakang Keluarga Bung Hatta

Hatta lahir di Fort de Kock (bukittinggi) Hindia Belanda pada tanggal 12 Agustus 1902. Mohammad Hatta terlahir dengan nama Muhammad Athar. Nama Ahtar berasal dari dari bahasa Arab yang memiliki arti "harum". Hatta merupakan anak kedua yang berbeda selisih umur dua tahun dengan kakaknya Rafiah yang lahir tahun 1900. Mohammad Hatta Terlahir dari keluarga pasangan Siti Saleha dan Muhammad Djamil yang berasal dari Minangkabau. 

Hatta dibesarkan dalam keluarga yang taat dalam Islam. Kakek Mohammad Hatta dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar adalah seorang ulama yang sangat dihormati di wilayah Batuhampar. Abdurahman Batuhampar adalah pendiri surau Batuhampar, satu dari sedikit surau yang tidak hancur setelah meletusnya perang Padri. Ayah Hatta, Haji Mohammad Djamil meninggal ketika Hatta baru berusia delapan bulan, Hatta ditinggal ayahnya bersama dengan saudarinya serta ibunya. 

Berdasarkan pada tradisi Minangkabau, Hatta kemudian dibesarkan dalam lingkungan keluarga ibunya. Ibu Mohamad Hatta, Siti Saleha adalah keturunan pedagang di Bukittinggi. Setelah Haji Muhammad Djamil meninggal, Siti saleha memutuskan untuk menikah lagi dengan Agus Haji Ning yang merupakan pedagang dari Palembang. Pernikahan Agus Haji Ning dengan Siti Saleha dikarunia empat orang Putri. Haji Ning sering berkorespondensi dengan kakek Hatta dari pihak Ibunya yakni Ilyas Bagindo Marah.

Pendidikan Formal Bung Hatta

Latar Belakang keluarga ibunda Hatta, Siti Saleha, yang merupakan keluarga cukup bearada dari segi harta, memungkinkan Hatta untuk bersekolah di Belanda. Hatta memulai pendidikannya di sekolah swasta. Namun setelah enam bulan, Hatta memutuskan pindah ke sekolah rakyat. Di sekolah rakyat yakni Sekolah Melayu Hatta sekelas dengan Rafiah sang kakak. Lagi-lagi sekolah Hatta di sekolah rakyat terhenti di tengah semester ketika Hatta menginjak kelas tiga. Hatta lalu meneruskan sekolahnya ke sekolah dengan bahasa dasar Belanda di Europeesche Lagere School atau ELS di Bukittinggi, Padang. ELS sendiri sekarang telah Menjadi SMA Negeri 1 Padang. Hatta bersekolah di ELS dari tahun 1913 hingga tahun 1916.

Saat berusia 13 Tahun, Hatta lulus ujian dan berhak melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah Belanda yakni Di Hogere Burgerschool atau HBS di Batavia (Jakarta sekarang). Melihat usia Hatta yang masih belia, Ibunya melarangnya untuk pergi merantau ke Batavia dan meminta Hatta untuk tetap tinggal di Padang. Hatta lalu melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau biasa disingkat MULO.

Selama bersekolah di MULO, Hatta mengisi waktu luangnya dengan bekerja di sebuah kantor Pos. Murid lain tak boleh melakukan kerja selama bersekolah di MULO. Hatta mendapat perlakuan khusus karena Ia memiliki kualifikasi ujian HBS. Selama bersekolah Di MULO, Hatta memiliki ketertarikan terhadap olahraga sepak bola.Hatta tergabung dalam tim sepak sekolah dan Ia ditunjuk sebagai Kapten Tim. Dengan posisinya sebagai kapten tim, Hatta memperluas korelasi dengan berbagai orang dan kalangan.

Selama bersekolah di MULO, Hatta biasa berkunjung ke kantor United Endeavor (Sarikat Usaha) yang dipimpin oleh Taher Marah Soetan. Selama berada di kantor Sarikat, Hatta mengisi waktu dengan membaca koran Belanda. Berita koran yang menarik perhatian Hatta adalah debat politik di Volksraad atau parlemen Hindia Belanda. Saat itu Hatta baru berusia enam belas dan mulai tertarik terhadap perpolitikan dan pergerakan nasional.

Pendidikan Non-formal Bung Hatta

Sebelum memulai pendidikan formal, Hatta sudah dibekali pengetahuan agama yang cukup memadai. Melihat latar belakang keluarga Hatta dari garis ayahnya yang merupakan Ulama yang cukup dihormati di Batuhampar, Hatta memiliki kemudahan dalam berguru kepada beberapa ulama di antaranya Abdullah Ahmad, Muhammad Jamil Jambek, serta beberapa ulama lainnya.

Selain pendidikan formal terkait agama, Hatta juga mendapat banyak pelajaran terkait perekonomian. Keluarga Hatta dari garis ibu yang merupakan pedagang cukup banyak memberi pengaruh pada minat Hatta terhadap perdagangan. Di Padang Hatta ikut aktif dalam Jong Sumatera Bond (Asosiasi Pemuda Sumatera) yang didirikan pada tahun 1918, Hatta memangku jabatan sebagai bendahara. Keaktifan Hata dalam Jong Sumatera Bond membuatnya banyak mengenal pedagang-pedagang yang tergabung sebagai anggota. Minat Hatta dalam perekonomian sangat tinggi, terbukti ketika Hatta pindah ke Jakarta, Ia menjadi bendahara saat bersekolah di Prins Hendrik School.

Ketika Ilyas Bagindo Marah kakeknya dari garis ibu, hendak ke Mekkah, Ia berencana membawa serta Hatta untuk mendapatkan pendidikan tentang agama di Al-Azhar, Mesir. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kader di Surau Batuhampar. Sebab semenjak ditinggal oleh Syaikh Abdurahman, Surau Batuhampar terus mengami kemunduran. Namun Hatta menolak tawaran tersebut dan mengusulkan untuk membwa Idris, pamannya, untuk menggantikannya.

Bung Hatta Sewaktu di Belanda

Tahun 1919, Hatta akhirnya diperolehkan oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya di HBS Batavia. Hatta menyelesaikan sekolahnya di HBS pada tahun 1921 dan dibolehkan untuk melanjutkan pendidikannya ke RotterdamSchool of Commerce (sekarang bernama Erasmus University Rotterdam) yang berlokasi di Rotterdam sesuai dengan namanya, Belanda. Hatta mengambil Jurusan Ekonomi dan menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1932 dan berhak menyandang gelar Doktorandus. Dengan gelar Doktorandus yang disandang, Mohammad Hatta berhak untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat Doktoral. Hatta kemudian melanjutkan pendidikannya untuk memperoleh gelar Doktornya dan berusaha untuk menyelesaikan segala persyaratan untuk mempermudah dalam menyelesaikan pendidikan Doktornya. Namun pada akhirnya Hatta tak dapat menyelesaikan pendidikan Doktornya. Kesibukkan Hatta dalam berpolitik menjadi penyebab utam terhambatnya pendidikan Doktoralnya.

Selama di Belanda, Hatta bergabung dengan Indische Vereeniging (Asosiasi Pelajar Hindia Belanda). Tahun 1922, Indische Vereeniging merubah nama menjadi Indonesia Vereeniging yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hatta menjadi bendahara dari organisasi Perhimpoenan Indonesia sejak tahun 1922-1925. Hatta lalu diangkat menjabat sebagai ketua sejak tahun 1926-1930. Pada saat didaulat sebagai Ketua, Hatta membacakan pidatonya yang berjudul Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan (The Economic World Structure and the Conflict of Power) yang mana inti gagasan dari pidato tersebut adalah menentang gagasan kerjasama Indonesia dan Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perhimpoenan Indonesia kemudian berubah, yang dulunya hanya melingkup pergerakan di kalangan Mahasiswa berubah menjadi organisasi politik dan berfokus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini kut disuarakan melalui Majalah yang bernama Indonesia Merdeka, di mana Hatta berperan sebagai Editor.

Untuk menggalang suara dari berbagai negara, Hatta selaku ketua dari Perhimpoenan Indonesia berusaha untuk selalu menghadiri kongres di seluruh Eropa. Tahun 1926, Hatta bersama Perhimpoenan Indonesia bergabung dalam salah satu kongres internasional yakni International Democratic Congress for Peace yang ke enam. Kongres ini berlangsung di Marc Sangnier's domaine de Bierville (Boissy-la-Rivière) Prancis. Pada Februari 1927, Hatta berkunjung ke Brussels dalam rangka menghadiri kongres yang diadakan oleh League Against Imperialism and Colonial Oppression. Dalam kongres tersebut Hatta banyak bertemu dengan para pejuang nasionalis dari berbagai negara, di antaranya ada Jawaharlal Nehru dari India, Mohammad Hafiz Ramadha Bey yang berasal dari Mesir, dan Lamine yang berasal dari Senegal. Di tahun yang sama, Hatta menghadiri Liga Wanita Internasinal untuk Perdamaian dan Kebebasan yang diselenggarakan di Swis. Pada kongres tersebut Hatta membawakan Pidato yang berjudul "Indonesia dan Problematika Kemerdekaannya".

Pada pertengahan Tahun 1927, aktivitas Perhimpoenan Indonesia mulai membuat pemerintah Hindia Belanda Khawatir. Pada Juni 1927, pemerintah Belanda melakukan penggerebekan ke kediaman pemimpin Perhimpoenan Indonesia. Pemerintah melakukan penggeldehan di kamar-kamar para aktivis Perhimpunan Indonesia. Melalui penggerebekan tersebut Hatta bersema dengan Empat orang aktivis Perhimpoenan Indonesia lainnya di penjarakan oleh Belanda. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih enam bulan di penjara, mereka lalu di bawa ke pengadilan di Den Haag. Mereka mendapatkan kesempatan untuk membela diri selama persidangan. Hatta memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelaskan Nasional Indonesia. Dalam pidato tersebut, Hatta memaparkan adanya konflik kepentingan antara Indonesia dan Belanda, sebab itu Indonesia tak dapat bekerja sama dengan Belanda. Hatta berpendapat bahwa kerja sama antara Indonesia dan Belanda mungkin saja bisa terjadi dengan pertimbangan bahwa Indonesia telah merdeka secara menyeluruh dan mendapat perlakuan yang setara sebagai sebuah negara merdeka bukan sebagai daerah yang menjadi daerah jajahan. Pidato pembelaan diri Hatta tersebut dikenal kemudia hari sebagai Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) atau lebih populer Pidato Pembebasan Indonesia.

Hatta dan keempat aktivis Perhimpoenan Indonesia yang ditahun 1927 baru dibebaskan pada tahun 1929. Pada Tahun 1932, Hatta memutuskan untuk pulang ke Indonesia.

Perjuangan dan Pergerakan Mohammad Hatta

Perjuangan Mohammad Hatta Melawan Kekuasaan Kolonial Belanda

Hatta kembali ke Indonesia dengan keadaan Nasionalisme Indonesia yang mengalami perlambatan. Perlambatan ini terjadi karena penangkapan dan pemenjaraan Soekarno. Sekembalinya Hatta, sebagian besar anggota dari PNI Soekarno terlah bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), dan bersama dengan anggota PNI yang lebih radikal, Sutan Syahrir yang  berpendidikan Belanda dipaksa untuk membentuk PNI baru. Meskipun nama yang digunakan sama, PNI baru bertujuan untuk Pendidikan Nasional Indonesia yang hanya akan berfokus pada pelatihankader. Pada bulan Agustus 1932 saat Hatta kembali ke Indonesia, Ia ditunjuk sebagai Ketua dari PNI yang baru.

Saat Desember 1932, Soekarno dibebaskan dari penjara. Perhatian publik beralih kepada putusan yang akan dipilih oleh  Soekarno terkait partaimana yang akan dipilihnya. Soekarno yang menginkan satu wadah yang menginkan kemerdekaan Indonesia masih belum menentukan pilihan yang tepat. Hal ini mendapat kritikan langsung dari Hatta yang memiliki pemikiran yang lebih pragmatis memandang perbedaan. Hal yang membuat bingung Soekarno adalah pertikaian yang terjadi karena pendekatan yang dilakukan oleh massa dan kader Partindo yang radikal melawan pendekatan yang dilakukan oleh kader partai PNI baru yang moderat dan pendekatan langsung oleh kader dari partai. Soekarno berinisiatif untuk menyatukan Partindo dan PNI baru. Namun usaha penggabungan itu gagal dan Soekarno memilih untuk bergabung dengan Partindo.

Antara 1932 hingga 1933, Hatta menulis artikel tentang Politik dan Ekonomi untuk koran PNI baru yakni Koran Daulat Rakyat. Artikel itu bertujuan untuk melatih para kader baru untuk kepemimpinan Indonesia.

Pada saat itu, Hatta sangat kritis tehadap Soekarno. Agustus 1933, Soekarno ditangkap lagi dan dihadapkan dengan pengadilan, Hatta menulis Artikel terkait dengan penangkapan Soekarno dan diberi judul "Soekarno ditangkap". Artikel tersebut kemudia dengan artikel lain yang berjudul "Tragedi Soekarno" artikel yang diterbitkan pada November 1933 dan diteruskan dengan artikel yang berjudul "Sikap Sang Pemimpin", terbit pada Desember 1933.

Pemerintah Kolonial Belanda menghukum Soekarno dengan hukuman pengasingan ke Ende di pulau Flores pada Desember 1933. Setelah pengasingan Soekarno, Pemerintah Kolonial Belanda lalu berfokus pada PNI baru. Februari 1934, Pemerintah Kolonial Belanda menangkap para pemimpin PNI baru termasuk Mohammad Hatta yang dari cabang Jakarta dan para pimpinan PNI baru yang berasal dari cabang Bandung. Selama hampir setahun mereka menghabiskan masa hukumannya di enjara Cipinang dan Penjara Glodok, Hatta melalui masa hukumannya di penjara Glodok. Selama masa hukumannya, Hatta menulis Buku yang berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalism".

Pada Januari 1935, pengadilan memutuskan bahwa Hatta dan para pimpinan PNI baru lainnya termasuk Syahrir akan di asingkan ke Boven Digoel di Papua. Ketika Hatta tiba di Boven Digoel, ia ditawari dua opsi. Opsi pertama ialah ia bekerja untuk Kolonial Belanda sebagai pegawai sipil dengan gaji 40 sen per hari dan memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Opsi kedua adalah menjadi terasing dan mendapat makanan tetapi tak memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Hatta sempat berceletuk jika ia memilih berkerja sebagai pegawai sipil di jakarta maka ia akan mendapatkan banyak uang maka ia tak perlu ke Boven Digoel yang hanya di bayar murah. Setelah mengatak hal tersebut Hatta memilih opsi yang kedua.

Selama masa pengasingannya, Hatta terus menulis artikel, kali ini Hatta banyak menulis untuk Koran Pandangan. Dari menulis artikel, Hatta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu beberapa temannya yang mengalami masalah keuangan. Hatta juga menggunakan buku yang sempat ia kemas sebelum diasingkan ke Boven Digoel (yakni sebanyak 16 peti) untuk mengajar teman-temannya yang berada di tempat pengasingan. Hatta tentu banyak mengajar tenatang Ekonomi, Sejarah, dan Filsafat. Kelak di kemudian hari, Hatta menuliskan buku tentang pengalamannya mengajar selama di pengasingan. Buku tersebut diberi judul "Pengantar Menuju Jalan Pengetahuan" ( An Introduction on the Way of Knowledge) dan "The Nature of Greek Thought" yang terdiri atas empat jilid.

Januari 1936, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira, Maluku. Di Bandaneira, Hatta bergabung dengan beberapa pejuang Nasional lainnya, diantaranya; Iwa Kusumasumantri dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Selama berada di Bandaneira, Hatta dan Syahrir mendapat lebih banyak kebebasan sehingga mereka dapat berinteraksi dengan penduduk lokal. Hata dan Syahrir juga berkesempatan untuk memberi pelajaran bagi anak-anak di Bandaneira, mereka mengajarkan tentang politik dan Sejarah. Hatta juga mengadopsi anak di Bandaneira yakni Des Alwi yang kelak akan menjadi seorang sejarawanIndonesia dan juga seorang diplomat. Pada Februari 1942, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat.

Bung Hatta Selama Masa Pendudukan Jepang


Tahun 1942, Perang Dunia Kedua meletus dan Kekaisaran Jepang mulai memperluasan kekuasannya ke wilyah Asia Timur dan wilayah Asia Tenggara. Pda Bulan Maret 1942, Pasukan kekaisara Jepang mulai mendarat di wilayah Indonesia. Sama halnnya dengan rekan mereka di Eropa, Pemerintah Kolonial Belanda kalah dalam menghadapi Penjajah. Pada 9 Maret 1942, Pemerintah Belanda menyerah kepada Kekaisaran Jepang. Pada 22 Maret 1942, Hatta dan Syahrir di transfer kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Hatta bertemu denga Mayor Jendral Harada, Kepala Interim dari Kekaisaran Jepang. Harada meminta Hatta untuk menjadi penasihat Bagi perwakilan Kekaisaran Jepang. Hatta lalu menerima tawaran tersebut dan meminta Harada agar Jepang mau mengkoloni Indonesia. Harada lalu meyakinkan Hatta bahwa hal tersebut tak akan pernah terjadi. Menurut Hatta, pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Jepang adalah hal yang sangat penting. Jika Jepang, yang memiliki ideologi ultra-nasionalis, mau mengakui Kemerdekaan Indonesia maka hal itu akan mampu memberikan tekanan pada sekutu (terutama bagi Amerika Serikat dan Inggris) yang menjajikan demokrasi bagi Indonesia.

Pada Juli 1942, Hatta kembali bertemu dengan Soekarno yang terlebih dahulu dipindahkan ke Sumatera dari Flores sebelum Jepang memasuki Indonesia. Soekarno yang dipindahkan  ke Jakarta juga untuk dimintai jasanya. Meskipun Hatta dan Soekarno memiliki perselisihan di masa lamapau, Soekarno ingin berbicara secara pribadi dengan Hatta terlebih dahulu sebelum berbicara dengan pihak yang pihak lainnya. Dalam sebuah pertemuan rahasia di rumah Hatta yang terletak di Jakarta, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir bersepakat bahwa Sjahrir akan melakukan pergerakan bawah tanah untuk menggalang perlawanan revolusionel. Sementara Hatta dan Soekarno akan memulai melakukan kerja sama mereka dengan pihak Kekaisaran Jepang yang selanjutnya akan mencoba untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ki Hadjar Dewantoro dan Kiai Haji Mas Mansur, pimpinan Muhammdiyah, Hatta dan Soekarno mulai membentuk grup yang terdiri dari para pimpinan yang nanti akan menjadi penyambung lidah bagi pemerintahan Kekaisaran Jepang.

Hatta dan danggota kelompok lainnya bekerja dengan semangat di bawah pimpinan Jepang. Mereka menggemakan Propaganda Jepang yang dikenal dengan istilah 3A, yakni "Jepang Pemimpin Asia", "Jepang Pelindung Asia", dan "Jepang Cahaya Asia". Propaganda ini bukan semata hasil dari pemikiran dari Hatta dan kawan-kawan, melainkan hasil dari pemikiran Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Di saat bersamaan Hatta tetap menyuarakan keinginan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam pidatonya bulan Desember 1942, Hatta mengatakan bahwa Indonesia sudah lepas dari belenggu penjajhan Blenda, namun jika mereka lepas dari cengkraman Belanda hanya untuk dijajah oleh pihak lain maka Hatta lebih suka jika Indonesia tenggelam di dasar lautan daripada dijajah lagi oleh pihak lain.

Pada 9 Maret 1943, Kekaisaran Jepang menyetujuai pendirian Putera (Pusat Tenaga Rakyat), di mana Hatta dan kawan-kawannya dijadikan pimpinannya. Soekarno berpendapat bahwa dengan terbentuknya Putera, Indonesia akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan namun di pihak lain, Jepang memanfaatkan propaganda tersebut untuk memulai romusha (sistem kerja paksa di masa pendudukan Jepang) di Indonesia.

Pada November 1943, usaha kerjasama Hatta dan Soekarno dengan Jepang diakui oleh Kaisar Hirohito dengan memberikan kedua penghargaan di Tokyo.

Sebagai imbas dari kekalahan Jepang di wilayah yang dijajahnya, mereka mulai putus asa dalam mempertahankan kontrol pemerintahan.

Pada Maret 1944, Putera dibubarkan dan digantikan oleh Djawa Hokokai. Meski masih dipimpin oleh Soekarno, penduduk Indonesia memiliki kebebasan lebih sedikit dibanding saat Putera belum dibubarkan. Saat Jepang sudah hampir kalah, pada september 1944 Perdana Mentri Koiso menjajikan kemerdekaan bagi Indonesia dalam waktu dekat.

Semenjak saat itu, orang-orang mulai berkumpul dan membicarakan perkara kemerdekaan. Selain dipicu oleh isu nasionalis, dukungan dari Laksamana muda Tadashi Maeda yang merupakan perwakilan pihak Jepang juga mendukung kemerdekaan Indonesia makin membuat semangat kemerdekaan berkobar. Maeda tak hanya memberikan dukungan dalam bentuk perkataan, Maeda juga mendirikan forum diskusi di kediaman pribadinya di Jl. Imam Bonjol, No 1. Forum tersebut diberi nama "Pusat Kemerdekaan Indonesia", dan Maeda menjamin kemanan mereka selama berdiskusi.

Proklamasi Kemerdekaan

Mepersiapkan Kemerdekaan Indonesia

Saat mendekati Proklamasi Kemerdekaan, pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia sembilan yang mengemban tugas untuk mengolah usul dan konsep dasar negara Indonesia. Panitia sembilan sesuai namanya beranggotakan sembilan orang yakni, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Mohammad Yamin, A.A. Maramis, Wahid Hasyim, Abdulkahar Muzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Haji Agus Salim serta diketuai langsung oleh Soekarno.
Pada bulan Agustus 1945, Jepang berada di ujung tanduk kekalahan. Pada bulan ini, Jepang akhirnya menyetujui kemerdekaan Indonesia dan membentuk Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 8 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno dipanggil ke Saigon untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi yang merupakan Panglima Pasukan Jepang di Asia Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus, Hatta dan Soekarno serta Radjiman Wedyodiningrat berangkat menuju Dalat (vietnam) dan dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI yang dilantik langsung oleh Marsekal Terauchi. Terauc!8 agustus dan Indonesia akan terbebasa dari Supervisi Jepang.

Hatta dan Soekarno kembali ke Indonesia pada 14 Agustus 1945. Syahrir sudah menunggu Hatta kembali dari Vietnam dan ingin segera memberitahukan berita tentang bom atom yang di jatuhkan oleh Amerika di Jepang. Sjahrir menyarankan kepada Hatta untuk segera menyampaikan berita tersebut pada Soekarno agar ia mengambil inisiasi untuk Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, karena menurut Sjahrir, Jepang tak akan ada dalam beberapa hari untuk melakukan supervisi. Sjahrir juga meyakinkan Hatta untuk tak perlu khawatir kepada pemerintah Jepang karena rakyat berada di pihak mereka.

Sjahrir dan Hatta kemudian bertemu dengan Soekarno, dan Sjahrir mengulang kembali argumennya yang sama disampaikan pada Hatta di depan Soekarno. Namun Hatta memiliki kecemasan mereka akan disebut bekerjasama dengan Jepang oleh sekutu. Soekarno sependapat dengan Hatta sehingga membuat Sjahrir frustasi dan meninggalkan diskusi.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah pada Amerika. Namun di Indonesia berita tersebut masih berupa desas desus yang belum bisa dikonfirmasi. Hatta dan Soekarno lalu bergegas ke gedung Pemerintahan Jepang untuk mengkonfirmasi berita tersebut namun yang ditemui hanyalah gedung yang kosong. Hatta dan Soekarno lalu memutuskan untuk mengunjungi Maeda. Maeda mengkonfirmasi bahwa berita tersebut benar adanya. Hatta dan Soekarno terkejut mendengar berita kekalahan Jepang kepada sekutu. Pada sore harinya, Hatta dan Soekarno berhadapan dengan golongan pemuda yang menghendaki Proklamasi Kemerdekaan segera proklamirkan. Soekarno menanggapi keinginan para pemuda dengan mengatakan agar para pemuda memiliki kesabaran. Soekarno malah mengatakan bahwa para golongan muda tak mampu memproklamasikan kemerdekaan tanpa dirinya.

Dini hari 16 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno diculik oleh para pemuda dan di bawa ke Rengasdengklok. Para pemuda terus memaksa Hatta dan Soekarno Untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, namun tidak berhasil. Sementara itu di Jakarta terjadi kepanikan karena pada hari itu PPKI akan memulai pertemuan yang akan mengusung Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua. Saat mengetahui keberadaan Hatta dan Soekarno dan kekalahan Jepang telah dikonfirmasi, Achmad Soebardjo, salah satu perwakilan PPKI, bergegas menuju Rengasdengklok untuk menyampaikan berita kekalahan Jepang kepada Hatta dan Soekarno. Malam itu juga, Hatta dan Soekarno bertolak menuju Jakarta. Di rumah Tadashi Maeda, mereka merumuskan prosesi Proklamasi Kemerdekaan.

Akhirnya pada 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dituangkan dalam secarik kertas kecil yang diketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangi oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

Wakil Presiden

Pemilihan dan Masa Sebulan Pertama saat Hatta menjabat Wakil Presiden

Pada 18 Agustus 1945, Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia yang ditunjuk oleh PPKI mewakili Soekarno yang ditunjuk sebagai Presiden pertama Indonesia. Sebagai Wakil Presiden, Hatta segera menyesuaikan diri sebagai 
Bung Hatta
Drs. Mohammad Hatta