2016/05/17

Biografi Ki Hajar Dewantara - Bapak Pendidikan Nasional

Statue of Ki Hadjar Dewantara in front of Sekolah Tamansiswa
Biografi Ki Hajar Dewantara | Terlahir sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat | Dalam Ejaan Yang Disempurnakan Suwardi Suryaningrat | Nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat berubah menjadi Ki Hadjar Dewantara sejak 1922 | ditulis Ki Hajar Dewantara berdasarkan ejaan yang disempurnakan, beberapa kalangan menuliskan nama beliau berdasarkan bunyi penyebutannya dalam bahasa Jawa yakni Ki Hajar Dewantoro. Lahir 2 Mei 1889, di Yogyakarta, Hindia Belanda, Ki Hajar Dewantara dikenang sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Jawa pada masa Kolonial Belanda. Hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional setiap tahunnya yang diperingati oleh segenap Bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara tutup usia pada umur 69 tahun di Yogyakarta, tepatnya pada 26 April 1959. Nama Ki Hajar Dewantara selanjutnya sering disebut "Soewardi" atau disingkat sebagai "KHD" selain menjadi pelopor pendidikan bagi masyarakat pribumi Jawa, Ki Hajar Dewantara juga adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi. Ki Hajar Dewantara adalah pioner dari pendirian Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memiliki tujuan luhur memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata agar memperoleh hak pendidikan seperti para kaum priyayi maupun kalangan Belanda.

Pada 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke 2 oleh Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, sebagai bentuk penghargaan negara terhadap dedikasi Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan.


Biografi Ki Hajar Dewantara | Masa Muda dan Awal Karier
Ki Hajar Dewantara terlahir dari keluarga berlatar belakang bangsaan (kaum priyayi) yakni dari keluarga kadipaten Pakulaman. Ki Hajar Dewantara merupakan putra dari GPH Soerjaningrat, dan merupakan cucu dari Pakualam III. Dengan latar belakang keluarga yang merupakan bangsawan atau priyayi, Ki Hajar Dewantara berhak mengenyam pendidikan di sekolah yang dikhususkan untuk kaum bangsawan.

Ki Hajar Dewantara memulai pendidikannya dasarnya di ELS yakni sekolah dasar bagi orang Eropa atau Belanda. Menamatkan pendidikan di ELS, Ki Hajar Dewantara lalu melanjutkan pendidikannya ke STOVIA yakni sekolah kedokteran yang dimiliki oleh Bumiputera, namun tidak menamatkan pendidikannya karena mengalami sakit. Ki Hajar Dewantara kemudian mulai bekerja sebagai wartawan dan menulis untuk beberapa surat kabar diantaranya De Express, Kaoem Moeda, Midden Java, Oetoesan Hindia, Poesara, Sediotomo, dan tjahaja Timoer. Selama karirnya di media cetak, Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai penulis yang berbakat serta berprestasi. Gaya menulis Ki Hajar Dewantara sangat populer, komunikatif serta dibumbui dengan jiwa merdeka dalam tulisannya, selain itu tulisannya juga mengandung semangat anti kolonialisme sehingga sangat disukai oleh pembacanya.

Aktivitas Pergerakan

Selain dikenal sebagai penulis yang handal, Ki Hajar Dewantara turut terlibat aktif dalam organisasi sosial dan politik. Tercatat sejak berdirinya Boedi Oetomo yakni 1908, Ki Hajar Dewantara aktif dalam mensosialisasikan dan mengkapanyekan pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan Kongres pertama Boedi Oetomo juga terselenggara berkat Ki Hajar Dewantara yang mengorganisasinya secara langsung.

Ki Hajar Dewantara yang pada usia mudanya juga ikut dalam organisasi Insulinde, sebuah organisasi multi-etnis yang didominasi oleh aktivis indo. Para aktivis indo di organisasi ini menghendaki sebuah pemerintahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia di Hindia belanda. Salah satu tokoh yang cukup menonjol di organisasi ini ialah Ernest Douwes Dekker. Douwes Dekker lalu mengajak Ki Hajar Dewantara untuk sama-sama mendirikan sebuah partai yakni Indische Partij.

Als ik een Nederlander was | Sekiranya Aku Orang Belanda

Tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda mencoba memungut uang semua warganya termasuk dari kalangan pribumi di Hindia Belanda. Uang tersebut dimaksudkan untuk merayakan kemerdekaan Belanda yang ke seratus dari penjajahan Perancis. Rencana pemerintah Hindia Belanda tersebut mendapat reaksi keras dari kalangan nasionalis, termasuk diantaranya Ki Hajar Dewantara. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (yang diartikan : Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu) mendapat respon yang cukup baik dari pembacanya. Namun tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling berkesan adaah "Als ik een Nederlander was" (Sekiranya Aku Orang Belanda), yang dicetak oleh surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Tulisan tersebut terbukti sangat menampar para pejabat pemerintahan Hindia Belanda.

Sejumlah pejabat pemerintahan Hindia Belanda meragukan keaslian tulisan tersebut ditulis oleh Ki Hajar Dewantara, sebab terdapat perbedaan gaya bahasa dari tulisan-tulisannya yang sebelumnya. Jaikalaupun benar tulisan tersebut ditulis oleh Ki Hajar Dewantara, mereka berasumsi bahwa Douwes Dekker adalah orang yang terlibat langsung mempengaruhi Ki Hajar Dewantara untuk menulis tulisan tersebut.

Tulisan tersebut kemudian dinilai pemerintah Hindia Belanda sebagai behan yang subversif, sensitif, serta berpotensi memecah belah yang dikhawatirkan akan menimbulkan gelombang pemberontakan dan akan menggagu tatanan pemerintahan Hindia Belanda. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda atas perintah dari Gubernur Jendral Idenburg lalu menangkap Ki Hajar Dewantara dan dijatuhi hukuman pengasingan ke pulau Bangka. Pengasingan tersebut mendapat protes dari rekannya, yakni Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akibat pemrotesan tersebut, pada tahun1913, mereka bertiga yakni Douwes Dekke, Tjicto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara, diasingkan ke Belanda. Ketiga aktifis pro-kemerdekaan tersebut lebih dikenal di Indonesia sebagai tiga serangkai. Saat itu usia Ki Hajar Dewantara baru menginjak usia 24 tahun.

Ki Hajar Dewantara di Masa Pengasingan

Selama penagasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara mengikuti organisasi pelajar Indonesia, Indische Vereeniging (Hindia association) atau dalam bahasa indonesianya Perhimpunan Hindia. Di organisasi inilah awal mula Ki Hajar Dewantara bercita-cita ingin memajukan orang Indonesia terutama kaum pribumi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut Ki Hajar Dewantara lalu belajar mengenai ilmu pendidikan samapai memperoleh ijazah Europeesche Akte. Ijazah tersebut merupakan ijazah di bidang pendidikan yang sangat bergenggsi yang kelak di kemudian hari menjadi salah satu penyokong Ki Hajar Dewantara dalam mewujudkan cita-citanya. Semasa studi, Ki Hajar Dewantara terinspirasi dari ide-ide sejumlah tokoh pendidikan barat, Montessori dan Froebel, juga dari aktivis pergerakan pendidikan India, Santiniketan dan Keluarga Tagore. Hal mendasar tersebutlah yang mempengaruhi Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan sistem kurikulumnya.

Taman Siswa

Pada bulan September 1919, Ki Hajar Dewantara kembali ke rumahnya di Jawa, Hindia Belanda. Sepulangnya dari Belanda, Ki Hajar Dewantara bersama saudaranya bekerja sama mendirikan sekolah di daerah asalnya. Dengan latar belakang pendidikanserta pengalamannya mengajar cukup membantu dalam mengembangkan konsep mengajar di sekolah. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara lalu mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Ampel atau perguruan tinggi nasional.

Selama masa penjajahan Belanda, pendidikan tak dapat dinikmati oleh semua kalangan bangsa Indonesia. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh segelintir orang, diantaranya, anak-anak pejabat pemerintah Hindia Belanda dan kaum bangsawan Jawa atau kaum priyayi. Pendidikan di masa kolonial Belanda tak dapat dinikmati oleh kaum pribumi. Oleh sebab itu di Yogyakarta pada bulan Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah yang diberi nama Taman Siswa. Sebuah terobosan pendidikan yang berusaha untuk menyediakan akses pendidikan bagi kaum pribumi.

Berdasarkan hitungan penanggalan Jawa, di tahun 1922, Ki Hajar Dewantara telah menginjak usia 40 tahun. Ki Hajar Dewantara diminta untuk mengganti namanya agar terhindar dari kemalangan yang mungkin akan menimpa dirinya. Kemudian nama yang dipilih adalah Ki Hajar Dewantara untuk digunakan sebagai nama barunya. Ia juga secara tegas menghilangkan gelar kebangsawanannya. Ki Hajar Dewantara tak lagi memakai Raden Mas di depan namanya sebagai bentuk dukungan akan adanya kesetaraan sosial, serta mengabaikan status sosial yang bersifat kaku dalam masyarakat Jawa. Selain itu, hal ini juga akan memudahkannya dalam berinterksi dengan masyarakat sekitarnya baik secara fisik maupun jiwa.

Tut Wuri Handayani

Semboyan Ki Hajar Dewantara dalam menggabarkan cita-cita pendidikannya dituangkan dalam bahasa Jawa yang berbunyi  "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Yang terjemahannya adalah  "(bagi mereka) di depan (harus) memberi contoh, (bagi mereka) di tengah (harus) membangkitkan semangat, dan (bagi mereka) di belakang (harus) memberikan dorongan". Semboyan ini merupakan motto Taman Siswa

Saat ini, bagian dari semboyan tersebut, Tut Wuri Handayani, digunakan sebagai motto oleh Departemen Pendidikan di Indonesia. Hal tersebut menggambarkan, idealnya seorang guru setelah mentransmisi pengetahuannya ke siswa didiknya, guru akan berdiri di belakang siswanya dan memberi mereka dorongan dalam mencaripengetahuan.

Ki Hajar Dewantara sebagai Pejabat Pemerintah

Selama masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara aktif terlibat dalam kegiatan politik, kegiatannya di bidang pendidikan juga terus berlanjut. Tahun1943, saat pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau yang lebih dikenal sebagai Putera, Ki Hajar Dewantara ditunjuk sebagai salah satu pemimpinnya bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Dalam kabinet pertama Indonesia yang dibentuk 190, Ki Hajar Dewantara ditunjuk oleh Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Pengajaran (sekarang jabatan tersebut lebih diganti menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Tahun 1957 Ki Hajar Dewantara memperoleh gelar doktor kehormatan (Dr.H.C. atau doctor honoris causa) dari Universitas Gadjah Mada.

Ki Hajar Dewantara meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 dan dimakamkan di pemakaman Taman Wijaya Brata.

Penghargaan Terhadap Jasa Ki Hajar Dewantara

Atas dedikasi yang dilakukan Ki Hajar Dewantara sebagai pioner pendidikan bagi semua kalangan, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 305 Tahun 1959, Tanggal 28 November 1959 mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pahlawan nasional, dan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Taman siswa juga mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta. Museum ini dibangun dengan tujuan untuk memperingati, melestarika, serta mempromosikan pemikiran, nilai-nilai dan cita-cita Ki Hajar Dewantara selaku pendiri Taman Siswa. Di museum tersebut terdapat benda dan karyaKi Hajar Dewantara. Koleksi Museum meliputi karya, makalah, konsep, dokumen penting dan surat dari korespondensi semasa bekerja sebagai wartawan, pendidik, budayawan dan selaku seniman. Berbagai dokumen ini telah difilemkan dalam mikrofilm dana beberapa dilaminasi sebagai dokumen Arsip Nasional Negara.

Peninggaln Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara mengintruksikan agar pendidikan sebisa mungkin tersedia bagi semua kalangan, tanpa memandang jenis kelamin, ras, etnis, budaya, agama, status sosial dan status ekonomi serta banyak lagi. Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa pendidikan harus berlandaskan pada nilai kemanusian, kebebasan dan hak untuk memperoleh pendidikan.

Ulang tahun Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Semboyan Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani, digunakan sebagai semboyan kementrian pendidikan. Kapal pelatihan angkatan laut Indonesia juga menggunakan nama KRI Ki Hajar Dewantara. Foto Ki Hajar Dewantara juga pernah diabadikan dalam uang pecahan Rp. 20.000 keluaran tahun 1998.