2015/11/22

Biografi R.A. Kartini

Biografi R.A. Kartini
R.A. Kartini | Raden Ayu Kartini ialah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia bersuku Jawa. Biasa juga dikenal sebagai Raden Adjeng Kartini. Lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda. Kartini dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi bagi wanita dan penegakkan hak asasi bagi wanita (emansipasi) di Indonesia. R.A. Kartini wafat pada usianya yg ke 25 yakni pada tanggal 17 September 1904 di Rembang, JawaTengah, Hindia Belanda.



Biografi R.A. Kartini

Silsilah Keluarga Kartini


R.A. Kartini terlahir dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah yang merupakan kalangan keluarga bangsawan Jawa atau lebih dikenal dengan istilah kaum priyayi di negeri Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningnrat adalah seorang Patih yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara pasca kelahiran Kartini. Silsilah Kartini dari pihak Ayahnya dapat ditelusuri hingga Hamengkubuwana VI. Geris Keturunan Bupati Ario Sosroningrat bahkan dapat ditelusuri hingga kerajaan Majapahit. Nenek moyang Ario Sosroningrat yakni Pangeran Dangirin pernah menjabat sebagai Bupati Surabaya di Abad ke delapanbelas dan turunannya banyak mengisi kedudukan penting di Pangreh Praja.

Ayah Kartini adalah seorang wedana di daerah Mayong. Peraturan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorang bangsawan maka Ario Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturan langsung Raja Madura karena istri pertamanya, M.A. Ngarsih yang merupakan ibu kandung kartini bukanlah bangsawan. Setelah perkawinannya dengan Raden Adjeng Woerjan, Ario Sosroningrat kemudian diangkat menjadi bupati Jepara menggatikan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Ibunda Kartini, M.A. Ngarsih adalah istri pertama dari Raden Mas Adipati Ario tetapi bukanlah istri utama. M.A. Ngarsih adalah anak dari pasangan Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Kyai Haji Madirono adalah seorang petinggi agama di Telukawur, Jepara.

R.A. Kartini adalah anak ke lima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dari silsilah saudara kandung Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati saat usianya 25 tahun dan terkenal sebagai bupati pribumi pertama yang menyekolahkan anak-anaknya dengan didikan barat. Sosrokartono, Kakak Kartini, adalah seorang brillian dalam bidang pelajaran terutama dalam bidang bahasa. Kartini mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) dan salah satu pelajaran yang didalami Kartini adalah bahasa Belanda. Kartini menkmati pendidikan di ELS hingga usianya menginjak 12 tahun. Setelah berusia 12 tahun, Kartini tak lagi melanjutkan pendidikannya di ELS, sebab kartini akan melalui masa pingitannya. Selama masa pingitan Kartini hanya di bolehkan berada di rumah.

R.A. Kartini yang mulai bisa berbahasa Belanda mulai mempelajari bahasa Belanda secara autodidak dengan banyak membaca dan mulai menulis surat korespondensi kepada teman-temannya di belanda. Salah satu yang menjadi korespondensi Kartini adalah Rosa Abendanon yang sangat mendukungnya. Kartini tertarik dengan cara berpikir wanita-wanita eropa. Kartini tertarik memajukan derajat wanita pribumi, karena menurut Kartini wanita pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Surat kabar Semarang De Locometief hasil asuhan Pieter Brooshooft adalah yang menjadi faforit Kartini. Selain itu Kartini juga sering membaca majalah langganannya yang biasa diantarkan oleh pemilik toko buku kepada pelanggan ( Ieestrommel). Di antara majalah langganannya terdapat majalah wanita De Hollandsche Leile, serta terdapat pula majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini lalu mulai mengirimkan tulisannya ke De Hollandsche Leile dan tentunya dimuat oleh majalah tersebut.

Kartini tak hanya terfokus pada hal-hal yang menyangkut emansipasi wanita saja, perkara umum juga menjadi perhatian yang cukup menarik minat Kartini. Kartini memiliki harapan agar pergerakan kaum wanita di Indonesia lebih bebas, memiliki otonomi serta memperoleh hak persamaan hukum sebagai bagian pergerakan yang lebih luas.

Gambar RA Kartini dan suaminya
Kartini menikahi seorang Bupati Rembang yang merupakan pilihan orangtuanya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah terlebih dahulu menikahi tiga wanita. Kartini menikah tanggal 12 November 1903. Suami Kartini paham akan keinginannya dan olehnya Kartini diberi kebebasan dan diberi dukungan untuk membangun sekolah wanita di sebelah timur gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, bangunan tersebut kini berubah fungsi menjadi Gedung Pramuka.

Kartini melahirkan anak tunggalnya pada 13 September 1904. Anak tunggalnya diberi nama Soesalit Djojohadiningrat. Empat hari kemudian, yakni 17 September 1904, Kartini meninggal di usianya yang terbilang belia yakni 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Terinspirasi dari Kartini, keluarga Van Deventer yang merupakan tokoh Politik Etik mendirikan Yayasan R.A. Kartini dan mendirikan sekolah khusus wanita yang diberi nama "Sekolah Kartini " di Semarang pada tahun 1912. Selanjutnya dibangun Sekolah Kartini di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.

Surat-surat Kartini

Setelah Kartini meninggal Mr J. H. Abendanon yang merupakan Mentri Kebudayaan, Keagamaan, dan Industri pada era Hindia Belanda, mengumpulkan dan menerbitkan buku yang berisikan surat-surat yang dikirmkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang dalam bahasa Inggris berarti Out of Dark Comes Light dan jika diartikan secara harfiah ke bahasa Indonesia berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" dan diterbitkan tahun 1911. Buku yang berisikan surat-surat Kartini tersebut dicetak sebanyak lima edisi, dan terdapat surat tambahan dari Kartini pada edisi terakhir. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Inggris oleh Agnes L. Symmers fan diterbitkan dengan judul Letters of a Javanese Princess (Surat dari Seorang Putri Jawa).

Terbitnya buku berisi surat-surat Kartini yang merupakan seorang perempuan pribumi Jawa cukup menarik perhatian kalangan masyarakat Belanda terhadap kehidupan wanita pribumi. Isi pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya mulai mengubah paradigma masyarakat Belanda terkait masyarakat pribumi Jawa.

Di tahun 1922, buku yang berisi surat-surat Kartini diterbitkan ulang dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeah Pikiran yang diterjemahkan oleh Empat Saudara. Selanjutnya di tahun 1938, buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan oleh seorang sastrawan Pujangga Biru yakni Armijn Pane. Oleh Armijn Pane buku Habis Gelap Terbitlah Terang dibagi kedalam lima bab pembahasan untuk emudahkan perubahan paradigma selama berkorespondensi dengan teman-teman Kartini di Eropa. Buku versi Armijn Pane sempat dicetak ulang sebanyak sebelas kali. Surat-surat kartini juga sempat diterbitkan dalam terjamahan bahasa Jawa dan Bahasa Sunda.


Pemikiran Kartini

Kondisi Perempuan Indonesia di Mata RA Kartini

Dalam surat yang ditulis RA Kartini terdapat pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat di Hindia Belanda saat itu, terutama terkait  kondisi perempuan pribumi Jawa. Sebagian besar surat yang ditulis RA Kartini berisi keluhan dan gugatan kekecewaan terhadap budaya masyarakat Jawa yang dianggap Kartini sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan berpikir masyarakat perempuan Jawa. Menurut Kartini, seharusnya wanita memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu dan belajar. Kartini menuangkan gagasan serta cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-onderricht dan Zelf-ontwikkeling , Zelf-werkzaamheid dan Zelf- vertrouwen serta Solidariteit. Semua itu atas dasar Ketuhanan, Keindahan dan Kebijaksanaan (Religieusiteit, Schoonheid en Wijsheid), ditambah cinta tanah air (Nasionalisme) serta peri kemanusiaan (Humanitarianisme).

Surat yang dituliskan juga berisi harapan Kartini untuk mendapat bantuan dari luar negeri. Dalam surat perkenalan Kartini dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, RA Kartini mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seperti kaum muda muda di Eropa. Kartini juga mengungkapkan penderitaan perempuan pribumi Jawa yang dikarekanakan pembatan oleh adat, salah satunya adalah tak bebas untuk menikmati pendidikan di sekolah, harus mau dipingit, serta harus siap dinikahkan dan dipoligami oleh lelaki yang tak mereka kenal.

Pandangan kritis Kartini juga ditujukan terhadap agama Islam. Kartini mempertanyakan kenapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa memahami kandungannya. Kartini dalam pandangannya menyatakan bahwa dunia akan lebih damai jika agama tidak dijadikan alasan manusia untuk terpisah, berselisih, dan untuk menyakiti. RA Kartini juga mempertanyakan agama yang dijadikan alasan bagi kaum adam untuk berpoligami.

Kartini yang Vegetarian

Dalam surat Kartini yang ditujukan kepada Nyonya Abendanon dan suaminya tertanggal 27 Oktober 1902 saat Kartini berusia 23 tahun. Dalam surat tersebut terdapat kutipan bahwa Kartini mulai berhenti makan daging, bahkan jauh sebelum surat tersebut dikirimkan yang menunjukkan bahwa kartini adalah seorang vegetarian. "belum lama ini aku berpikir untuk melakukannya (menjadi vegetarian), saya bahkan hanya makan sayuran selama setahun ini, tapi aku belum cukup memiliki keberanian moral untuk melanjutkan. aku masih terlalu muda".

Kartini juga menekankan hubungan antara gaya hidup sebagai vegetarian dengan agama. Kartini dalam suratnya juga mengatakan, "Menjalani hidup sebagai seorang vegetarian adalah sebuah doa tanpa kata kepada Yang Maha Kuasa.

Riwayat Kartini

Dalam suratnya, Kartini juga mengungkapkan berbagai kendala yang menghalangi perempuan Jawa untuk menjadi lebih maju. Meski Kartini memiliki ayah yang menyekolahkannya hingga usia 12 tahun tapi pintu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih lanjut tetap tidak bisa. Kartini sangat menyangi ayahnya begitupula sebaliknya sebagaimana biasa Ia ungkapkan dalam surat-suratnya. Namun Ayahnya melarang Kartini untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda ataupun untuk masuk ke sekolah kedokteran di Betawi. Tetapi akhirnya Ayahnya mengizinkan Kartini untuk melanjutkan pendidikannya untuk menjeadi guru di Betawi

Foto R.A. Kartini kecil dengan orangtua dan saudara-saudaranya (tahun 1890an)
Keinginan RA Kartini untuk bersekolah terutama ke Eropa memang diungkapkan dalam surat yang ditulisnya. Beberapa sahabat penanya di Eropa sangat mendukung bahkan berupaya untuk mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Namun akhirnya para sahabat penanya hanya bisa kecewa karena di saat Kartini hampir mewujudkan keinginannya itu Ia malah membatalkannya. Niat Kartini yang awalnya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda akhirnya diubah ke Betawi setelah dinasehati oleh Ny. Abendanon yang berpendapat bahwa lebih baik untuk melanjutkan pendidikannya di Betawi bersama adiknya R.A. Rukmini.

Foro Kartini, Kardinah, Roekmini
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia 24 tahun, niat untuk melanjutkan pendidikannya menjadi guru pupus. Hal itu diungkapkan dalam surat yang dikirimkan Kartini kepada Ny. Abendanon karena Ia akan menikah. Padahal saat itu Belanda sudah memberikan izin kepada R.A. Kartini dan R.A. Rukmini untuk belajar di Betawi.

Menjelang pernikahannya dengan Adipati Ario, paradigma Kartini terkait budaya Jawa menjadi lebih toleran . Kartini beranggapan bahwa pernikahan akan memberikan keuntungan tersendiri untuk meraih apa yang Ia inginkan untuk pendidikan bagi kaum mengembangakan pendidikan kaum wanita pribumi di Jawa. Dalam salah satu surat yang dituliskan oleh Kartini, ia mengumkapkan bahwa hanya suaminyalah yang dapat membantunya dalam memuluskan ambisinya untuk membangun industri kreatif dan sekolah bagi kaum wanita pribumi, serta Kartini juga menuliskan keinginannya untuk menuliskan buku. Malangnya keinginan Kartini harus terhenti karena meninggal di usia cukup belia yakni di tahun 1904 pada usia 25 tahun.

Kontroversi Kartini

Beberapa kalangan meragukan akan kebenaran surat yang ditulis oleh Kartini, ada kecurigaan J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat yang ditulis oleh Kartini. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan sebab buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda saat itu menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon adalah salah satu yang berkepentingan dan mendukung terlaksananya politik etis. Hingga sekarang pun sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya.

Penetapan tanggal kelahiran RA Kartini sebagai salah satu hari nasional di Indonesia diperdebatkan beberapa kalangan. Menurut mereka sebaiknya Hari Kartini dirayakan bersamaan dengan perayaan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember. Hal ini bukan tanpa alasan sebab masih ada pahlawan wanita lain yang tak kalah hebat dengan RA Kartini sebut saja Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, serta masih banyak lagi pahlawan wanita lainnya. Selain itu wilayah perjuangan kartini terbilang hanya dilingkup Jepara serta Rembang saja, RA Kartini juga tak pernah secara langsung mengangkat senjata untuk menghadang penjajah. Sikap RA Kartini yang mau dipoligami juga bertentangan dengan kaum feminis yang menentang poligami sebagai salah satu bentuk emansipasi.

Pihak yang sepakat dengan perjuangan Kartini berpendapat jika kartini lyak mendapat perlakuan khusus. Ide dan gagasan pembaruan yang dimiliki Kartini dianggap sudah cukup diartikan sebagai bentuk perjuangan untuk bangsa Indonesia. Cara pikir Kartini dianggap sudah mewakili perjuangan Nasional.

Peringatan

Hari Kartini

Foto Tanda Tangan RA Kartini
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno menetapkan hari kelahiran RA Kartini sebagai Hari Kartini yang dirayakan sebagai Hari besar Nasional. Selain itu Kartini berdasarkan surat Peputusan Presiden tersebut Kartini ditetapkan sebagai Pahlwan Kemerdekaan Nasional.

Nama Kartini juga diabadikan sebagai nama jalan di Belanda. Diantaranya di Utrecht nama kartini diabadikan sebagai nama jalan yakni Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat. Di Venlo Belanda Selatan, nama jalannya adalah R.A. Kartinistraat yang berbentuk 'O' terletak di kawasan Hagerhof. Sementara di wilayah Amsterdam Zuidoost nama Kartini ditulis lengkap sebagai jalan Raden Adjeng Kartini. Dan yang terakhir di Haarlem, nama  jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir.